Sering terdengar bahwa Buddhism sejalan dengan sains, sebenarnya kalimat ini agak salah, yang benar adalah sains sejalan dengan Buddhism. Karena Buddhism sudah ada sekitar 2500 tahun yang lalu dan sains modern baru muncul belakangan, maka jika ada kesesuaian diantara keduanya, kalimat yang benar adalah sains (yang baru ada belakangan ini) sejalan dengan Buddhisme (yang sudah lebih dulu ada).
Tetapi patut dicatat, tidak semua sains modern selaras dengan Buddhisme, sains masih berkembang sedangkan ajaran Buddha sudah dibabarkan sempurna tanpa perlu penambahan. Sebenarnya Buddhisme tidak membutuhkan pengakuan sains untuk pembenaran ajarannya, hal itu bukanlah tujuan ajaran Buddha, tetapi ya, beberapa perkembangan sains - tanpa cocologi - memang terbukti selaras dengan Buddhisme.
Tentu saja fakta sains sejalan dengan Buddhisme bukan dikonfirmasi dari kata ilmuwan seperti Stephen Hawking (baca artikel http://tentangajaranbuddha.blogspot.com/2013/10/pencatutan-nama-stephen-hawking.html) atau Albert Einstein (baca artikel http://tentangajaranbuddha.blogspot.com/2013/10/pencatutan-nama-albert-einstein.html), ini adalah usaha menggelikan yang mendompleng kata-kata ilmuwan terkenal untuk mengangkat nama Buddhisme agar terlihat klop dengan sains, walaupun memang ada beberapa quote ilmuwan yang melihat hubungan sains dan Buddhisme, tetapi tentu saja quote dari Stephen Hawking seperti pada artikel di atas sangat dipaksakan jika dihubungkan dengan Buddhisme, sementara quote dari Albert Einstein pada artikel di atas sudah diubah dan bukan kutipan awal Einstein.
Kecocokan sains dan Buddhisme yang sebenarnya jauh lebih terlihat dalam perbandingan antara isi sutta-sutta dan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini. Salah satunya adalah mengenai 6 indria, tidak ada literatur yang lebih tua dari Buddhisme yang menjelaskan 6 indria dengan sangat rinci. Jika anda mencari informasi seputar sense (indria), muaranya akan mengacu pada literatur Buddhisme (contoh: http://en.wikipedia.org/wiki/Sense). Membaca penjelasan Buddha mengenai 6 indria PADA SAAT INI pun dapat membuat anda terkagum-kagum karena begitu detailnya pengetahuan Sang Buddha menjelaskan 6 indria dalam kaitannya dengan ajaran Buddha, dan hal ini sudah dibabarkan sekitar 2500 tahun yang lalu.
Untuk pengertian awal, simak salah satu penjelasan Buddha mengenai 6 pasang landasan indria internal dan eksternal (organ dan objek):
1. mata (internal) dan objek-objek yang terlihat (eksternal)
2. telinga (internal) dan suara (eksternal)
3. hidung (internal) dan bau-bauan (eksternal)
4. lidah (internal) dan kecapan (eksternal)
5. tubuh (internal) dan sentuhan (eksternal)
6. pikiran (internal) dan objek-objek mental (eksternal)
Perhatikan indria 1 sampai 5 diakui sebagai 5 indria yang umum pada dunia sains sampai saat ini. Sedangkan indria ke-6 belum sepenuhnya dapat dimengerti oleh sains, tetapi sudah tercetus istilah sixth sense yang mengacu pada kemampuan pikiran dan beberapa cabang ilmu sains sudah mempelajarinya dengan serius. Bukti sudah terpapar dengan ditemukannya melalui percobaan sains bahwa meditasi dapat membuat orang lebih bahagia, namun masih perlu waktu untuk sains untuk mendapatkan penjelasan yang memuaskan untuk fenomena-fenomena pikiran tersebut. Namun dalam Buddhisme, hal itu dapat dibuktikan oleh diri sendiri dengan mempraktikkan ajaran Buddha.
Tidak hanya seperti disebutkan secara sederhana di atas, 6 indria banyak disebut oleh Sang Buddha karena berkaitan erat dengan inti ajaran Buddha yang disampaikan dengan menakjubkan dan konsisten. Berikut diantaranya.
Sebab Akibat yang Saling Bergantungan (Paṭiccasamuppāda)
Ajaran ini mengungkap kondisi-kondisi yang memelihara lingkaran kelahiran kembali (samsara), menunjukkan apa yang harus dilakukan agar terbebas darinya. Kehidupan dalam samsara adalah penderitaan dan belenggu (dukkha), maka berakhirnya penderitaan memerlukan kebebasan dari lingkaran. Buddha menguraikan pola penyebab ini, yaitu sebab akibat yang saling bergantungan.
Sebab akibat yang saling bergantungan dibabarkan dalam urutan 12 faktor, kadang dijelaskan dalam urutan maju dan kadang dengan urutan mundur, dan variasi lainnya. 12 faktor itu adalah sebagai berikut:
Karena (1) kebodohan (avijja), tidak ada pengetahuan langsung atas Empat Kebenaran Mulia, seseorang terlibat dalam perbuatan-perbuatan kehendak, aktivitas-aktivitas jasmani, ucapan, dan pikiran yang bermanfaat maupun tidak bermanfaat, ini adalah (2) bentukan-bentukan kehendak (sankhara), dengan kata lain: kamma. Bentukan-bentukan kehendak memelihara kesadaran dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya dan dimana kemunculannya kembali, dengan cara ini bentukan-bentukan kehendak mengkondisikan (3) kesadaran (vinnana). Bersama dengan kesadaran, yang dimulai pada saat konsepsi, muncullah (4) nama-dan-bentuk (namarupa), organisme hidup dengan bentuk fisik (rupa) dan kapasitas sensitif dan kognitif (nama). Organisme hidup ini dilengkapi dengan (5) enam landasan indria (salayatana), lima kemampuan fisik dan pikiran sebagai organ pengenalan. Landasan-landasan indria memungkinkan (6) kontak (phassa) muncul antara kesadaran dan objeknya, dan kontak mengkondisikan (7) perasaan (vedana). Dipicu perasaan, muncullah (8) keinginan (tanha), keinginan yang meningkat mengkondisikan (9) kemelekatan (upadana), keterikatan kuat pada objek keinginan melalui indria dan pandangan salah. Didorong oleh keterikatan, sekali lagi ia terlibat dalam tindakan-tindakan kehendak yang menghasilkan (10) penjelmaan baru (bhava). Pada saat kematian potensi penjelmaan kembali ini diaktualisasikan dalam kehidupan baru yang dimulai dengan (11) kelahiran (jati) dan berakhir dengan (12) penuaan dan kematian (jaramarana).
Perhatikan bahwa 6 landasan indria adalah faktor ke-5 dari sebab akibat yang saling bergantungan.
Pengendalian 6 Indria
Karena termasuk dalam salah satu faktor sebab akibat yang saling bergantungan, yang membentuk lingkaran kelahiran kembali, maka salah satu inti ajaran Buddha adalah menekankan praktik pengendalian indria ini. Buddha mengilustrasikan dengan sangat tepat dengan perumpamaan enam binatang. Berikut kutipan suttanya dari Samyutta Nikaya 35 (Saḷāyatanavasaṃyutta):
"Misalkan para bhikkhu, seseorang menangkap enam binatang - dari wilayah yang berbeda dan habitat yang berbeda - dan mengikat mereka dengan tali yang kuat. Ia menangkap ular, buaya, burung, anjing, serigala, dan monyet, dan masing-masing diikat dengan tali yang kuat. Setelah melakukan itu, ia akan mengikatkan tali itu menjadi satu dengan simpul di tengah dan melepaskannya. Kemudian keenam binatang dengan wilayah dan habitat yang berbeda itu masing-masing akan menarik ke arah wilayah dan habitat mereka. Ular akan menarik ke satu arah, dengan berpikir, 'Aku akan memasuki gundukan sarang semut'. Buaya akan menarik ke arah lain, dengan berpikir, 'Aku akan masuk ke air'. burung akan menarik ke arah lain, dengan berpikir, 'Aku akan terbang ke angkasa.' Anjing akan menarik ke arah lain, dengan berpikir, 'Aku akan memasuki desa.' Serigala akan menarik ke arah lain dengan berpikir, 'Aku akan pergi ke tanah pemakaman.' Monyet akan menarik ke arah lain, dengan berpikir, 'Aku akan memasuki hutan'.
"Sekarang ketika keenam binatang itu menjadi letih dan lelah, mereka akan dikuasai oleh satu diantara mereka yang paling kuat; mereka akan menyerah kepadanya dan berada di bawah kendalinya. Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu tidak mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka mata menarik ke arah bentuk-bentuk yang menyenangkan dan bentuk-bentuk yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan; telinga menarik ke arah suara-suara yang menyenangkan dan suara-suara yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan; hidung menarik ke arah bau-bauan yang menyenangkan dan bau-bauan yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan; lidah menarik ke arah rasa kecapan yang menyenangkan dan rasa kecapan yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan; badan menarik ke arah objek-objek sentuhan yang menyenangkan dan objek-objek sentuhan yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan; pikiran menarik ke arah fenomena-fenomena pikiran yang menyenangkan dan fenomena-fenomea pikiran yang tidak mengenangkan sebagai menjijikkan.
"Demikianlah bukan-pengendalian itu. Dan bagaimanakah, para bhikkhu, pengendalian itu? Di sini setelah melihat suatu bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak menyukai bentuk yang menyenangkan dana tidak menolak bentuk yang tidak menyenangkan. Ia berdiam setelah menegakkan perhatian pada jasmani, dengan pikiran tanpa batas, dan ia memahami sebagaimana adanya kebebasan batin itu, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa. Setelah mendengar suara-sura dengan telinga... Setelah mengenali suatu fenomena pikiran dengan pikiran, ia tidak menyukai fenomena pikiran yang menyenangkan dan tidak menolak fenomena pikiran yang tidak menyenangkan. Ia berdiam setelah menegakkan perhatian pada jasmani, dengan pikiran tanpa batas, dan ia memahami sebagaimana adanya kebebasan batin itu, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa. Demikianlah pengendalian itu.
"Misalkan, para bhikkhu, seseorang menangkap enam binatang - dari wilayah yang berbeda dan habitat yang berbeda - dan mengikat mereka dengan tali yang kuat. Ia menangkap ular, buaya, burung, anjing, serigala, dan monyet, dan masing-masing diikat dengan tali yang kuat. Setelah melakukan itu, ia akan mengikatkan tali itu pada sebuah tiang atau pilar. Kemudian keenam binatang dengan wilayah dan habitat yang berbeda itu masing-masing akan menarik ke arah wilayah dan habitat mereka. Ular akan menarik ke satu arah, dengan berpikir 'Aku akan memasuki gundukan sarang semut.'... (seperti di atas) ... Monyet akan menarik ke arah lain, dengan berpikir, 'Aku akan memasuki hutan.'(Lengkapnya dapat dibaca pada Samyutta Nikaya khususnya buku 4. Dapat didownload gratis di: http://dhammacitta.org/perpustakaan/samyutta-nikaya-khotbah-khotbah-berkelompok-sang-buddha/)
"Sekarang, ketika keenam binatang itu menjadi letih dan lelah, mereka akan berdiri di dekat tiang atau pilar itu, mereka akan duduk di sana, mereka akan berbaring di sana. Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka mata tidak menarik ke arah bentuk-bentuk yang menyenangkan juga tidak ke arah bentuk-bentuk yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan; telinga tidak menarik ke arah suara-suara yang menyenangkan juga tidak ke arah suara-suara yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan; hidung tidak menarik ke arah bau-bauan yang menyenangkan juga tidak ke arah bau-bauan yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan; lidah tidak menarik ke arah rasa kecapan yang menyenangkan juga tidak ke arah rasa kecapan yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan; badan tidak menarik ke arah objek-objek sentuhan yang menyenangkan juga tidak ke arah objek-objek sentuhan yang tidak meyenangkan sebagai menjijikkan; pikiran tidak menarik ke arah fenomena-fenomena pikiran yang menyenangkan juga tidak ke arah fenomena-fenomena pikiran yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan.
"Demikianlah pengendalian itu.
"'Tiang atau pilar yang kuat': ini, para bhikkhu, adalah sebutan untuk perhatian yang diarahkan ke jasmani. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: "Kami akan mengembangkan dan melatih perhatian yang diarahkan ke jasmani, menjadikannya kendaraan, menjadikannya landasan, menstabilkannya, mengerahkan usaha kami, dan menyempurnakannya.' Demikianlah kalian harus berlatih."
Masih banyak contoh sutta mengenai 6 landasan indria ini, dibabarkan dengan berbagai cara namun dengan benang merah yang sama. Sampai saat ini dan kita alami sendiri, bahwa 6 indria yang tidak terkendali memang mirip dengan analogi enam binatang, dunia sains pun sepakat dengan keberadaan indria-indria tersebut. Ajaran Buddha juga mengundang untuk dibuktikan saat ini juga, cara praktiknya telah dibabarkan dan dapat dilatih dan dirasakan sendiri manfaatnya.
Khotbah Bola Madu
Pada sutta lainnya yaitu Majjhima Nikaya 18 (Madhupiṇḍika Sutta), Buddha menjelaskan lebih detail mengenai 6 indria ini, bagaimana dengan bergantung dengan mata dan bentuk-bentuk, muncul kesadaran mata, pertemuan ketiganya adalah kontak, dengan kontak sebagai kondisi muncullah perasaan, apa yang ia rasakan itulah yang ia kenali, apa yang ia kenali itulah yang ia pikirkan, apa yang ia pikirkan itulah yang diproliferasikan oleh pikiran. Apa yang diproliferasikan secara pikiran sebagai sumber, persepsi dan gagasan proliferasi pikiran menyerang seseorang dengan bentuk-bentuk masa lampau, masa depan dan masa sekarang yang dikenali melalui mata.
Khotbah ini merupakan salah satu dari pembabaran kondisi batin yang dijelaskan Sang Buddha dengan cara yang mengagumkan, kata-kata Sang Buddha bukanlah instruksi/perintah yang tidak jelas dasarnya, tetapi pembabaran yang sangat dalam dan konsisten menguak detail Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Mulia Berunsur Delapan dengan berbagai metode. Sains juga membuktikan hubungan-hubungan yang erat antara indria, persepsi, perasaan dan berbagai kondisi batin, tetapi Buddha dan sains memiliki cara dan pendekatan masing-masing dalam menjelaskannya, dan ini tidak bertabrakan satu sama lain.
Berikut potongan dari MN 18 (sumber: http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17327.15.html):
15. “Teman-teman, ketika Sang Bhagava bangkit dari duduknya dan memasuki kediamanNya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, yaitu: ‘Para bhikkhu, sehubungan dengan sumber melalui mana persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran yang menyerang seseorang: jika tidak ada apapun di sana yang menggembirakan, yang disambut dan digenggam, maka ini adalah akhir dari kecenderungan tersembunyi pada nafsu … ini adalah akhir dari penggunaan tongkat dan senjata … di sini kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa,’ aku memahami maknanya secara terperinci sebagai berikut:Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa ketika seseorang mengingat kembali apa yang terekam oleh indria (mata, hidung, dan seterusnya) dan bentukan-bentukannya di masa lalu, masa depan, atau masa sekarang, melekat padanya, maka ia diserang oleh pikirannya sendiri. Tetapi jika ia tidak menggenggamnya, tidak melekatinya, maka inilah akhir kecenderungan tersembunyi pada nafsu.
16. “Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, maka muncul kesadaran-mata. Pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi maka ada perasaan. Apa yang ia rasakan, itulah yang ia kenali. Apa yang ia kenali, itulah yang ia pikirkan. Apa yang ia pikirkan, itulah yang diproliferasikan oleh pikiran. Dengan apa yang ia proliferasikan secara pikiran sebagai sumber, persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran menyerang seseorang sehubungan dengan bentuk-bentuk masa lampau, masa depan dan masa sekarang yang dikenali melalui mata.
“Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara … Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan … Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan … Dengan bergantung pada badan dan obyek-obyek sentuhan … Dengan bergantung pada pikiran dan obyek-obyek pikiran, maka muncul kesadaran-pikiran. Pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi maka ada perasaan. Apa yang ia rasakan, itulah yang ia kenali. Apa yang ia kenali, itulah yang ia pikirkan. Apa yang ia pikirkan, itulah yang diproliferasikan oleh pikiran. Dengan apa yang ia proliferasikan secara pikiran sebagai sumber, persepsi dan gagasan yang [muncul dari] proliferasi pikiran menyerang seseorang sehubungan dengan obyek-obyek pikiran masa lampau, masa depan dan masa sekarang yang dikenali melalui pikiran.
17. “Ketika ada mata, bentuk, dan kesadaran-mata, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi kontak. Ketika ada manifestasi kontak, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi perasaan. Ketika ada manifestasi perasaan, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi persepsi. Ketika ada manifestasi persepsi, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi pemikiran. Ketika ada manifestasi pemikiran, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi penyerangan oleh persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran.
“Ketika ada telinga, suara, dan kesadaran-telinga … Ketika ada hidung, bau-bauan, dan kesadaran-hidung … Ketika ada lidah, rasa kecapan, dan kesadaran-lidah … Ketika ada badan, obyek sentuhan, dan kesadaran-badan … Ketika ada pikiran, obyek pikiran, dan kesadaran-pikiran … adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi penyerangan oleh persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran.
18. “Ketika tidak ada mata, tidak ada bentuk, dan tidak ada kesadaran-mata, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi kontak. Ketika tidak ada manifestasi kontak, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi perasaan. Ketika tidak ada manifestasi perasaan, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi persepsi. Ketika tidak ada manifestasi persepsi, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi pemikiran. Ketika tidak ada manifestasi pemikiran, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi penyerangan oleh persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran.
“Ketika tidak ada telinga, tidak ada suara, dan tidak ada kesadaran-telinga … Ketika tidak ada hidung, tidak ada bau-bauan, dan tidak ada kesadaran-hidung … Ketika tidak ada lidah, tidak ada rasa kecapan, dan tidak ada kesadaran-lidah … Ketika tidak ada badan, tidak ada obyek sentuhan, dan tidak ada kesadaran-badan … Ketika tidak ada pikiran, tidak ada obyek pikiran, dan tidak ada kesadaran-pikiran … adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi penyerangan oleh persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran.
19. “Teman-teman, ketika Sang Bhagava bangkit dari duduknya dan memasuki kediamanNya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, yaitu: ‘Para bhikkhu, sehubungan dengan sumber melalui mana persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran yang menyerang seseorang: jika tidak ada apapun di sana yang menggembirakan, yang disambut dan digenggam, maka ini adalah akhir dari kecenderungan tersembunyi pada nafsu, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada ketidak-senangan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada pandangan-pandangan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada keragu-raguan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada penjelmaan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada kebodohan; ini adalah akhir dari penggunaan tongkat pemukul dan senjata, akhir dari pertengkaran, percekcokan, perselisihan, tuding-menuding, fitnah, dan kebohongan; di sini kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa,’ aku memahami makna terperinci dari ringkasan itu seperti demikian. Sekarang, teman-teman, jika kalian menginginkan, pergilah menghadap Sang Bhagava dan tanyakan kepadaNya tentang makna dari hal ini. Sebagaimana Sang Bhagava menjelaskan, demikianlah kalian harus mengingatnya.”
20. Kemudian para bhikkhu, setelah dengan senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Maha Kaccana, bangkit dari duduk mereka dan menghadap Sang Bhagava. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberi tahu Sang Bhagava mengenai apa yang telah terjadi setelah Beliau pergi, dan menambahkan: “Kemudian, Yang Mulia, kami mendatangi Yang Mulia Maha Kaccana dan menanyakan kepadanya tentang makna ini. Yang Mulia Maha Kaccana menjelaskan makna ini kepada kami dengan kata-kata, kalimat-kalimat, dan frasa-frasa ini.”
21. “Maha Kaccana adalah seorang bijaksana, para bhikkhu, Maha Kaccana memiliki kebijaksanaan luas. Jika kalian menanyakan kepadaKu tentang makna dari hal ini, Aku akan menjelaskannya dengan cara yang sama seperti Maha Kaccana menjelaskannya. Demikianlah makna dari hal ini, dan kalian harus mengingatnya.”
22. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ananda berkata kepada Sang Bhagava: “Yang Mulia, bagaikan seseorang yang keletihan dan lemah karena lapar dan menemukan bola madu, pada saat memakannya ia akan menemukan rasa yang manis dan lezat; demikian pula, Yang Mulia, bhikkhu manapun yang penuh perhatian, pada saat menyelidiki dengan kebijaksanaan atas makna dari khotbah Dhamma ini, akan merasa puas dan berkeyakinan dalam batin. Yang mulia, apakah nama dari khotbah Dhamma ini?
“Kalau begitu, Ananda, engkau dapat mengingat khotbah Dhamma ini sebagai ‘Khotbah Bola Madu.’”
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagava. Yang Mulia Ananda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagava.
Terima kasih Kepada Blok ini yang meng sajikan tentang agama Buddha yang sangat mendalam , jadi saya tambah tahu juga GO SIANG
ReplyDelete